Hukum Perkawinan

27 Jun 2015

Pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-Undang no.1 tahun 1974





PEMBATALAN PERKAWINAN
            I.     Pengertian Pembatalan Perkawinan           
Pembatalan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 termuat dalam Bab IV pada Pasal 22 sampai dengan pasal 28, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pelaksanaannya ( PP No. 9 Tahun 1975) dalam Bab VI Pasal 37 dan 38, serta diatur pula dalam Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991)) Bab XI Pasal 70 sampai dengan Pasal 76. 
Pasal 22 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa:
perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa perkawinan itu batal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat yang dimaksud, namun jika perkawinan itu terlanjur terlaksana maka perkawinan itu dapat dibatalkan.
Menurut Yahya Harahap arti Pembatalan Perkawinan adalah:
Tindakan Pengadilan yang berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah (no legal force or declared void). Sesuatu yang dinyatakan no legal force; maka kedaan itu dianggap tidak pernah ada (never existed ) oleh karena itu si laki-laki dan si perempuan yang di batalkan perkawinannya dianggap tidak pernah kawin sebagai suami isteri.[1]
Pengertian pembatalan perkawinan tersebut dapat ditarik kesimpulan yaitu:
a.      Perkawinan dianggap tidak sah (no legal force).
b.     Dengan sendirinya perkawinan dianggap tidak pernah ada (never existed).
c.      Oleh karena itu, antara laki-laki dan perempuan yang dibatalkan. perkawinannya dianggap tidak pernah sebagai suami-isteri.
Pembatalan perkawinan diatur dalam bab IV Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Masalah pembatalan perkawinan berkaitan dengan berbagai pasal dan ketentuan yaitu:  
a.    Pembatalan Perkawinan terkait dengan syarat dan rukun nikah.
b.   Pembatalan Perkawinan terkait dengan masalah larangan perkawinan.
c.    Menyangkut masalah perkawinan poligami.
d.   Bahkan ada sangkut pautnya dengan pencatatan perkawinan yang diatur dalam Bab II serta tata cara perkawinan yang terdapat dalam ketentuan Bab III Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.[2]
Ad 1.   Pembatalan perkawinan terkait dengan masalah syarat dan rukun nikah, karena perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan seperti:
a.      Tidak ada kesepakatan nikah antara calon suami dan calon isteri.
b.     Pernikahan tersebut dilangsungkan tanpa adanya wali, baik itu wali hakim maupun wali yang ditunjuk oleh pihak calon isteri. 
c.      Tidak dihadiri oleh dua orang saksi.
d.     Tidak ada ijab Kabul.
Ad 2. Pembatalan terkait dengan masalah larangan perkawinan
            Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, larangan perkawinan diatur dalam pasal 8, yaitu:
a.      Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah;
b.     Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara;
c.      Hubungan semenda yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d.     Hubungan sesusuan yaitu orang tua susuan, anak, saudara, bibi/paman susuan;
e.      Berhubungan saudara dengan isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f.      Mempunyai hubungan yang oleh agama atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin;
Larangan-larangan perkawinan yang dirumuskan dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah larangan yang bersifat selama-lamanya, sedangkan larangan perkawinan yang bersifat sementara atau berlaku hanya sepihak saja, diatur dalam pasal-pasal:
a.      Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berisikan tentang poligami.
b.     Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berisikan tentang seorang wanita yang masih terikat perkawinan dengan orang lain maka tidak dapat kawin lagi.
Ad 3.   Pembatalan perkawinan yang menyangkut masalah perkawinan poligami
Menurut Hukum Islam mengawini wanita lebih dari seorang diperbolehkan dengan dibatasi paling banyak empat (4) orang. Pembolehan ini diberikan dengan batasan-batasan, yaitu:
a.      Jumlah wanita yang boleh dinikahi tidak lebih dari empat orang;
b.     Sanggup berlaku adil terhadap isteri-isterinya;
c.      Wanita yang akan dinikahi lagi seyogyanya adalah wanita yang mempunyai anak yatim supaya anak yatim tersebut berada dibawah pengawasan laki-laki yang akan berpoligami tersebut;
d.     Wanita yang hendak dinikahi itu tidak boleh ada hubungan saudara baik sedarah maupun sesusuan.
Ad 4.   Pembatalan perkawinan ada hubungan dengan pencatatan perkawinan dan tata cara perkawinan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 .
            Pencatatan perkawinan diatur dalam Bab II Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975, yang intinya mengatakan bahwa pencatatan perkawinan dapat dilakukan di:
a.      Kantor Pegawai Pencatat Nikah bagi mereka yang melangsungkan  perkawinan menurut agama Islam.
b.     Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam.
Tata cara perkawinan diatur dalam Bab III pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu:
a.      Perkawinan dilangsungkan setelah hari ke 10 (sepuluh) sejak pengumuman;
b.     Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu;
c.      Perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah dan dihadiri oleh dua orang saksi;
Jika ada pelanggaran terhadap pencatatan dan tata cara perkawinan maka perkawinan  tersebut dapat dibatalkan.
            Isteri yang diceraikan pengadilan dengan jalan fasakh atau pembatalan  perkawinan tidak dapat  dirujuk oleh suaminya. Jadi kalau keduanya ingin kembali hidup bersuami isteri maka harus dengan perkawinan yang baru, yaitu melaksanakan akad-nikah baru.
Demikian pembahasan tentang pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-Undang no. 1 tahun 1974, semoga ada manfaatnya..











[1] Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Indonesia, Medan, Cv Zahir Tranding Co. 1978, Halaman 71
[2]  Yahya harahap, 2001. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7/ 1989, edisi ke dua, Sinar Grafika, Jakarta, hal 142

No comments:

Post a Comment