PEMBATALAN PERKAWINAN
I. Pengertian
Pembatalan Perkawinan
Pembatalan
perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu Undang-Undang No.1 Tahun
1974 termuat dalam Bab IV pada Pasal 22 sampai dengan pasal 28, diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pelaksanaannya ( PP No. 9 Tahun 1975) dalam Bab VI Pasal
37 dan 38, serta diatur pula dalam Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden
No. 1 Tahun 1991)) Bab XI Pasal 70 sampai dengan Pasal 76.
Pasal 22 Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa:
perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal tersebut
menjelaskan bahwa perkawinan itu batal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat
yang dimaksud, namun jika perkawinan itu terlanjur terlaksana maka perkawinan
itu dapat dibatalkan.
Menurut Yahya Harahap arti Pembatalan
Perkawinan adalah:
Tindakan
Pengadilan yang berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu
dinyatakan tidak sah (no legal force or
declared void). Sesuatu yang dinyatakan no legal force; maka kedaan itu
dianggap tidak pernah ada (never existed
) oleh karena itu si laki-laki dan si perempuan yang di batalkan perkawinannya
dianggap tidak pernah kawin sebagai suami isteri.[1]
Pengertian
pembatalan perkawinan tersebut dapat ditarik kesimpulan yaitu:
a.
Perkawinan dianggap tidak sah (no legal force).
b. Dengan sendirinya perkawinan dianggap tidak pernah ada
(never existed).
c.
Oleh karena itu, antara laki-laki dan perempuan yang dibatalkan.
perkawinannya dianggap tidak pernah sebagai suami-isteri.
Pembatalan perkawinan
diatur dalam bab IV Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Masalah pembatalan
perkawinan berkaitan dengan berbagai pasal dan ketentuan yaitu:
a. Pembatalan Perkawinan terkait dengan syarat dan rukun
nikah.
b. Pembatalan Perkawinan terkait dengan masalah larangan
perkawinan.
c. Menyangkut masalah perkawinan poligami.
d. Bahkan ada sangkut pautnya dengan pencatatan
perkawinan yang diatur dalam Bab II serta tata cara perkawinan yang terdapat
dalam ketentuan Bab III Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.[2]
Ad
1. Pembatalan perkawinan terkait dengan
masalah syarat dan rukun nikah, karena perkawinan tersebut tidak memenuhi
syarat dan rukun perkawinan seperti:
a. Tidak ada kesepakatan nikah antara calon suami dan
calon isteri.
b. Pernikahan tersebut dilangsungkan tanpa adanya wali,
baik itu wali hakim maupun wali yang ditunjuk oleh pihak calon isteri.
c. Tidak dihadiri oleh dua orang saksi.
d. Tidak ada ijab Kabul.
Ad
2. Pembatalan terkait dengan masalah larangan perkawinan
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, larangan perkawinan diatur dalam pasal 8, yaitu:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
dan kebawah;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara;
c. Hubungan semenda yaitu mertua, anak tiri menantu dan
ibu/bapak tiri;
d. Hubungan sesusuan yaitu orang tua susuan, anak,
saudara, bibi/paman susuan;
e. Berhubungan saudara dengan isteri dalam hal seorang
suami beristeri lebih dari seorang;
f. Mempunyai hubungan yang oleh agama atau peraturan lain
yang berlaku dilarang kawin;
Larangan-larangan
perkawinan yang dirumuskan dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
adalah larangan yang bersifat selama-lamanya, sedangkan larangan perkawinan
yang bersifat sementara atau berlaku hanya sepihak saja, diatur dalam
pasal-pasal:
a. Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 yang berisikan tentang poligami.
b. Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
yang berisikan tentang seorang wanita yang masih terikat perkawinan dengan
orang lain maka tidak dapat kawin lagi.
Ad
3. Pembatalan perkawinan yang menyangkut
masalah perkawinan poligami
Menurut
Hukum Islam mengawini wanita lebih dari seorang diperbolehkan dengan dibatasi
paling banyak empat (4) orang. Pembolehan ini diberikan dengan batasan-batasan,
yaitu:
a. Jumlah wanita yang boleh dinikahi tidak lebih dari
empat orang;
b. Sanggup berlaku adil terhadap isteri-isterinya;
c. Wanita yang akan dinikahi lagi
seyogyanya adalah wanita yang mempunyai anak yatim supaya anak yatim tersebut
berada dibawah pengawasan laki-laki yang akan berpoligami tersebut;
d. Wanita yang hendak dinikahi itu tidak boleh ada
hubungan saudara baik sedarah maupun sesusuan.
Ad 4. Pembatalan
perkawinan ada hubungan dengan pencatatan perkawinan dan tata cara perkawinan
yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 .
Pencatatan perkawinan diatur dalam
Bab II Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975, yang intinya mengatakan bahwa pencatatan
perkawinan dapat dilakukan di:
a. Kantor Pegawai Pencatat Nikah bagi mereka yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam.
b. Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam.
Tata
cara perkawinan diatur dalam Bab III pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu:
a. Perkawinan dilangsungkan setelah hari ke 10 (sepuluh)
sejak pengumuman;
b. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu;
c. Perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat
Nikah dan dihadiri oleh dua orang saksi;
Jika ada pelanggaran terhadap pencatatan dan tata cara perkawinan maka
perkawinan tersebut dapat dibatalkan.
Isteri yang diceraikan pengadilan dengan jalan fasakh
atau pembatalan perkawinan tidak dapat dirujuk oleh suaminya. Jadi kalau keduanya
ingin kembali hidup bersuami isteri maka harus dengan perkawinan yang baru,
yaitu melaksanakan akad-nikah baru.
Demikian pembahasan
tentang pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-Undang no. 1 tahun
1974, semoga ada manfaatnya..
No comments:
Post a Comment