Hukum Perkawinan

14 Jun 2015

Syarat Sahnya Perkawinan menurut Undang-Undang no.1 tahun 1974





Syarat Sahnya Perkawinan

Artikel kali ini masih membahas tentang perkawinan, yaitu tentang syarat sahnya perkawinan. Syarat-syarat untuk sahnya perkawinan diatur dalam Bab II dari pasal 6 sampai dengan pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Syarat berarti memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan, sah berarti menurut hukum yang berlaku. Perkawinan dikatakan sah apabila memenuhi syarat dan hukum yang telah ditentukan. Apabila perkawinan dilaksanakan tidak sesuai dengan tata tertib hukum yang ditentukan maka perkawinan itu menjadi tidak sah. Jadi yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, apabila ada salah satu dari syarat yang telah ditentukan tidak di penuhi maka perkawinan itu menjadi tidak sah.
Syarat perkawinan dibagi menjadi dua (2) yaitu:
a.       Syarat materiil
Adalah syarat yang melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, dan disebut juga syarat subyektif.
b.       Syarat formal
Adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut agama dan undang-undang, disebut juga syarat obyektif.


Ad. 1. Syarat Materiil
Syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 seperti yang diatur dalam pasal 6 sampai dengan Pasal 12 adalah sebagai berikut:
1)     Adanya Persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1);
2)     Adanya izin kedua orangtua atau wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat 2);
3)     Usia calon mempelai pria sudah 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun, kecuali ada dispensasi dari pengadilan (Pasal 7);
4)     Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan keluarga atau darah yang tidak boleh kawin (Pasal 8);
5)     Calon mempelai wanita tidak dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain dan calon mempelai pria juga tidak dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain, kecuali telah mendapat izin dari pengadilan untuk poligami (Pasal 9);
6)     Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang kawin kembali (untuk ketiga kalinya) (Pasal 10);
7)     Tidak dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang berstatus janda (Pasal 11);
Syarat-syarat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)     Persetujuan kedua mempelai, didalam pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Persetujuan disini adalah perkawinan itu harus dilaksanakan berdasarkan kehendak bebas dari calon mempelai pria dan wanita tanpa paksaan agar perkawinan itu dapat bahagia dan kekal karena calon pengantin itu memilih pasangannya dengan kehendaknya sendiri sehingga tujuan dari perkawinan yang bahagia dan kekal itu dapat terwujud.
Hendaknya persetujuan untuk melangsungkan perkawinan itu adalah sesuatu yang murni, yang betul-betul tercetus dari hati para calon mempelai itu sendiri, bukan secara berpura-pura atau hasil dari suatu paksaan.[1]

2)     Adanya ijin dari kedua orang tua atau wali bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
Ijin untuk melangsungkan perkawinan pertama-tama harus diperoleh dari kedua orang tua. jika salah seorang dari mereka  sudah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya maka ijin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau yang mampu menyatakan kehendaknya.
Ketentuan Pasal 6 ayat (3), (4), dan (5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974  mengatur tentang siapa-siapa yang berhak memberikan izin pekawinan jika orangtua dari mempelai telah meninggal dunia.
3)      Batas usia kedua calon mempelai
Menurut Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, batas usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun. Penyimpangan terhadap Pasal ini dapat dimintakan dispensasi kepada pengadilan oleh orangtua pihak pria maupun wanita (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
4)     Antara calon mempelai pria dann calon mempelai wanita tidak dalam hubungan keluarga atau darah yang tidak boleh kawin. Dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a)     Berhubungan darah dalam garis kuturunan kebawah maupun keatas;
b)     Berhubungan darah dalam garis keturuna menyamping yaitu antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c)     Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
d)     Berhubungan sesusuan, yaitu antara orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan.
e)     Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi/kemenakan dari isteri, dalam hal suami beristeri lebih dari seorang.
f)      Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
5)     Kedua calon mempelai tidak sedang dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain, kecuali ada ijin dari pengadilan untuk poligami (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
6)     Bagi suami isteri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu dengan yang lain kemudian bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). Dalam hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal ini, oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka  sesuatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulangkali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
7)     Tidak dalam waktu tunggu bagi mempelai wanit yang janda.
Masa tunggu ini dalam istilah hukum Islam disebut masa iddah, masa tunggu tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya keraguan mengenai status anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang akan menikah lagi. (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Waktu tunggu bagi seorang janda disebutkan dalam Pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975 yaitu sebagai berikut:
a.      Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari dihitung sejak kematian suami.
b.     Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya  90 (Sembilan puluh)  hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
c.      Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut sedang dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkak sampai melahirkan.
Ad.2    Syarat Formal
Syarat-syarat formal berhubungan dengan tata cara perkawinan, dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan Perundang-undangan sendiri. Syarat formal yang berhubungan dengan tata cara perkawinan adalah sebagai berikut:
a.      Pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan.
b.     Pengumuman untuk melangsungkan perkawinan.
c.      Calon suami isteri harus memperlihatkan akta kelahiran
d.     Akta yang memuat izin untuk melangsungkan perkawinan dari mereka yang harus memberi izin atau akta dimana telah ada penetapan dari pengadilan.
e.      Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus memperlihatkan akta perceraian, akta kematian atau dalam hal ini memperlihatkan surat kuasa yang disahkan pegawai pencatat Nikah.
f.      Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung tanpa pencegahan.
g.     Dispensasi untuk kawin, dalam hal dispensasi diperlukan.
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemarintah No. 9 tahun 1975. Untuk syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
1.     Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaaannya itu.
2.     Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut:
                                    Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Dari bunyi pasal 2 ayat 1 beserta dengan penjelasannya itu, maka suatu perkawinan mutlak harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, kalau tidak maka perkawinan itu tidak sah.[2]
Perkawinan harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya, selain itu perkawinan juga harus dicatat dihadapan pegawai pencatat nikah yang berwenang. 

Demikan pembahasan tentang syarat sahnya perkawinan, semoga bermanfaat. Salaam..





[1] K Wantjik Saleh, hal. 25
[2]Ibid. hal 16.

No comments:

Post a Comment